Kerajaan Sunda Galuh
Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan
penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan
dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti
dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi
kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten
Ciamis.
Nama kerajaan
Banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan
kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu
Jaya Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi pulau Jawa dilukiskan sebagai
berikut:
Sadatang ka tungtung Sunda
Meuntasing di Cipamali
Datang ka alas Jawa
Ketika ku mencapai perbatasan Sunda
Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali
Brebes)
dan masuklah aku ke hutan Jawa
Menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya,
“Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up half of the
whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that
the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends
at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the
island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has
trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over
to each country with the branches on the ground.
Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini hanya
disebut dengan nama Kerajaan Sunda.
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat
pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita
tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di
daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri
Jayabupati.
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada
tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja
Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah
sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang
berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti
nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara,
untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah
dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama
Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam
posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan
Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan;
yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Lokasi ibu kota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang
baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita
Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di
Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah
sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti
batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama
halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir
Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak
wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli
waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan
Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2.
Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan
setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari
Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja
Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera
bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M
dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah
saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke
Sundapura, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis
sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari,
Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan
bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja
Kerajaan Sunda Galuh.
Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan
Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi
penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) pada tahun 732
M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana,
yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah
Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga
Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan
tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini
terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk
menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih
di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang,
sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah
disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno.
Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah
pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjapada tahun 670 M. Hal ini sejalan
dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang
terakhir mengunjungi negeri itu terjapada tahun 669 M. Tarusbawa memang
mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok
dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan
Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 -
716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja
dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini
pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa
alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun
716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara
Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah
cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua
(702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena
hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja
tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong.
Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah,
adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera
Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena
yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari
Sena.
Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta,
sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan
tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada
Raja Tarusbawa.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat
menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan
Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang
memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah
Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan
khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih
Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh
keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu
Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki
Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini
juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau
Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita
"kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr
Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat
dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora,
anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri
tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk
menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera
menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar
Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi
Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut
merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena
ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk
dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang
disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di
Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma,
cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah.
Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi
karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan
Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia
cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki
Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka,
putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera
bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun
ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur
Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki
Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa
keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan
pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap
pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi
Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya,
Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di
ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena
terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti
Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus
tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan
masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang
harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang
menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah
membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih
meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur
Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan
pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata
dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang
senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana,
dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama
Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami
bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di
Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama
merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang
disenangi.
Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh
Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun
dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki
Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram
dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur
pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda
dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan
kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung
Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan
bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai
mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh
dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar
kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam
gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten
menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa
tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja
dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung
ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil
membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang
segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga
dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang
mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan
sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep
Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika
itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar
menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah
menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang
ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah
Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya
bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93
tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh
diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian
Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam
satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa
Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima
kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati
Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan
dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu
Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai
Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan
Kancanasari, adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang
ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah
membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk
mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum
berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari
kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).
Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh
antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu
mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat.
Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini
sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua,
tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua,
silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah
dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang
ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad
ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal,
Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga
wafat.
Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama
Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu
Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi
Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan
pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat
perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan
(Saunggalah).
Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka
adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya
seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun
permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan
Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah
yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam
kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu
Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara
Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi
penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus
"menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja
Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu
oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral
dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di
sana) disebut pralaya itu terjapada tahun 1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra
mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya
Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu
Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah
Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan
anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya
Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan
terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken
Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak
bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya
kembali ke Jawa Timur.
Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka
Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta
Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera
mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja
pertama Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
|
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
|
|||
|
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
|
1
|
|||
|
2
|
Sanjaya Harisdarma
|
cucu-menantu no. 1
|
|
|
3
|
Tamperan Barmawijaya
|
||
|
4
|
Rakeyan Banga
|
||
|
5
|
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
|
||
|
6
|
Prabu Gilingwesi
|
menantu no. 5
|
|
|
7
|
Pucukbumi Darmeswara
|
menantu no. 6
|
|
|
8
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
||
|
9
|
Prabu Darmaraksa
|
adik-ipar no. 8
|
|
|
10
|
Windusakti Prabu Dewageng
|
||
|
11
|
Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi
|
||
|
12
|
Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa
|
menantu no. 11
|
|
|
13
|
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
|
||
|
14
|
Limbur Kancana
|
anak no. 11
|
|
|
15
|
Prabu Munding Ganawirya
|
||
|
16
|
Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
|
||
|
17
|
Prabu Brajawisesa
|
||
|
18
|
Prabu Dewa Sanghyang
|
||
|
19
|
Prabu Sanghyang Ageng
|
||
|
20
|
Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati
|
||
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan
Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai
Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu
Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
|
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
|
|||
|
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
|
1
|
Wretikandayun
|
||
|
2
|
Rahyang Mandiminyak
|
||
|
3
|
Rahyang Bratasenawa
|
||
|
4
|
Rahyang Purbasora
|
sepupu no. 3
|
|
|
5
|
Sanjaya Harisdarma
|
anak no. 3
|
|
|
6
|
Adimulya Premana Dikusuma
|
cucu no. 4
|
|
|
7
|
Tamperan Barmawijaya
|
anak no. 5
|
|
|
8
|
Manarah
|
anak no. 6
|
|
|
9
|
Guruminda Sang Minisri
|
menantu no. 8
|
|
|
10
|
Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan
|
||
|
11
|
Sang Walengan
|
||
|
12
|
Prabu Linggabumi
|
||
|
13
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
ipar no. 12
|
|
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan
Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali
kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no.
13).
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri
Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
|
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
|
|||
|
No
|
Raja
|
Masa pemerintahan
|
Keterangan
|
|
1
|
Darmaraja
|
||
|
2
|
Langlangbumi
|
||
|
3
|
Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur
|
||
|
4
|
Darmakusuma
|
||
|
5
|
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu
|
||
|
6
|
Ragasuci
|
||
|
7
|
Citraganda
|
||
|
8
|
Prabu Linggadéwata
|
||
|
9
|
Prabu Ajiguna Linggawisésa
|
menantu no. 8
|
|
|
10
|
Prabu Ragamulya Luhurprabawa
|
||
|
11
|
Prabu Maharaja Linggabuanawisésa
|
tewas dalam Perang Bubat
|
|
|
12
|
Prabu Bunisora
|
paman no. 13
|
|
|
13
|
Prabu Niskala Wastu Kancana
|
anak no. 11
|
|
|
14
|
Prabu Susuktunggal
|
||
Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah
dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan
(Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang
merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan
Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_dan_Kerajaan_Galuh
Sumber : http://perpustakaan.tanahimpian.web.id/tahun-600-m/kerajaan-sunda-galuh.h








Tidak ada komentar:
Posting Komentar