Kerajaan Medang
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah
Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang
ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti
Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia
hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum
dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian
tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan
Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau
"Bratasenawa", merupakan
raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora
(saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke
Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang
merupakan raja pertama Kerajaan
Sunda (setelahTarumanegara pecah menjadi Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi
menantunya.
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat
menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan
Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan
setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya
Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan
Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya.
Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan
antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh
menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah
oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat
dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis
ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Dinasti yang berkuasa
Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau
keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang
pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaituWangsa
Sanjaya dan Wangsa
Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa
Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama
Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agamaHindu aliran Siwa. Menurut teori
van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas
Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama BuddhaMahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa,
bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya diPulau
Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang
keturunan Sanjaya bernama Rakai
Pikatanberhasil menikahi Pramodawardhani putri
mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang,
dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal
kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota
Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet
Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang
pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran
yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti
Kalasantahun 778 memuji
Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai
Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi
Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai
Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa
Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik
dengan Bhre pada zaman Majapahit,
yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan
“Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai
Panunggalan sampai Rakai
Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui,
misalnya Dharanindraataupun Samaratungga.
yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi
Prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang
adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa
Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang
membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet
Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di
Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai
berikut:
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak
di Prambanan, Yogyakarta,
dibangun antara masa pemerintahan Rakai
Pikatandan Dyah Balitung.
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa
Syailendra
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang
Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai
raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan
kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai
Panangkaran dari Wangsa
Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan
gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya
semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga
berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap
dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa
Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja
versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya
Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri
i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang
oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta
selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada
masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini
berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit.
Patih zaman Majapahit setara dengan perdana
menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara
berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar
kehormatan saja. Pada zaman Wangsa
Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri
Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan
Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri
pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman
Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang
masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman
sekarang.
Keadaan penduduk
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas
menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode
Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani.
Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya,
yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara
maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa,
agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana.
Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa,
agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.
Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai
Kayuwangi putra Rakai
Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain,
yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini
menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi
adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu
Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa,
bahkan sampai Bali.
Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang
mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia
sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah
Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan
damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang
sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang
dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan
oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon
sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat
daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan
lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan
material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi
Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas
dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu
terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino
mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka
tahun 929.
Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa,
melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa,
yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana
Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa
Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau
Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut
nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai
penguasa Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah
menjadi permusuhan ketika Wangsa
Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis,
sekitar tahun 850–an, Rakai
Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra
bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia
tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja
ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya.
Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas
perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus
berlanjut bahkan ketika Wangsa
Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode
Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di
daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur)
yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di
Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya
peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi
pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang
lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik
Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali
Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak
ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin
memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia
mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji
Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam
peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah
campuran Jawa–Bali yang lolos
dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan
Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang
mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok.
Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Peninggalan sejarah
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua.Jawa
Tengah, abad ke-9/ke-10,tembaga, 12,0 x
7,5 cm. (Tengah:Chundā lengan-empat, Jawa
Tengah,Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x
8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad
ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak diMuseum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti
yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang
bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan
Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo,
Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan
Medang.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi
Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi
Mendut,Candi Pawon, Candi
Sambisari, Candi Sari, Candi
Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi
Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal
adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun
oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu
warisan budaya dunia.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang








Tidak ada komentar:
Posting Komentar