Kerajaan Makassar (1605-1667 M )
Sejarah Kemunculan Kerajaan Makassar
Keputusan penguasa kerajaan Makassar untuk memeluk agama
Islam mempunyai dampak yang sangat penting baik bagi kehidupan rakyat maupun
kehidupan politik bagi masa depan Sulawesi Selatan. Dampak yang lain adalah
menjadikan kerajaan Makassar sebagai penguasa yang tidak tertandingi di
Sulawesi Selatan.
Untuk mempertahankan predikat penguasa tak tertandingi,
tidak segan kerajaan Makassar berusaha mengIslamkan para penguasa lain yang ada
di Sulawesi Selatan. Langkah pertama untuk merealisasikan tujuannya adalah untuk
mengajak Bone dan Soppeng memeluk agama Islam, namun kedua kerajaan itu
menolak. Penolakan ini menyebabkan terjadinya peperangan antara kerajaan
Makassar melawan Tellumpocco (kerajaan gabungan Soppeng, Wajo, dan Bone).
Ketika awal peperangan berlangsung, Tellumpocco menjadi
pihak yang memenangkan perang. Namun pada tahun 1609 M tatkala perang kembali
pecah, pihak kerajaan Makassar lah yang mendapatkan kemenangan. Dengan
kemenangan ini Soppeng bersedia menganut agama Islam pada tahun 1609 M,
kemudian diikuti oleh Wajo pada 10 Mei 1610 M, dan oleh Bone pada 23 November
1611 M. Sultan Alaudin meninggal pada tahun 1638 M, setelah sultan Alaudin
meninggal, dia digantikan oleh sultan Muhammad Said, yang nantinya akan membawa
kerajaan Makassar memasuki masa kejayaannya.
Kejayaan Kerajaan Makassar
Setelah sultan Alaudin meninggal, sultan Muhammad Said
(1639-1653) naik tahta menjadi raja kerajaan Makassar, dengan dibantu Karaeng
Pattingaloang. Ketika Sultan Muhammad Said memerintah, kerajaan Makassar
mengalami perkembangan luar biasa dan mencapai pucaknya di bawah pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Nama Sultan Muhammad Said sendiri terkenal sampai ke
berbagai negeri di Asia, bahkan sampai ke Eropa. Hal ini disebabkan karena
jasa-jasa Karaeng Pattingaloang yang pandai melakukan diplomasi. Sayangnya
tidak banyak catatan sejarah yang menceritakan keadaan kerajaan Makassar pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Said secara mendetail.
Pengganti Sultan Muhammad Said adalah anaknya, yang bernama
Hasanuddin. Sultan Hasanudin lahir pada tanggal 12 Januari 1613, dan meninggal
pada tanggal 12 Juni 1670. Dia menjadi raja Gowa ke-16 dan sebagai raja
Makassar yang ke-3. Nama kecil Hasanuddin adalah I Mallombassi, setelah
menginjak dewasa mempunyai gelar Daeng Mattawan
Sebelum Hasanuddin naik tahta, dia pernah menjalankan
tugas sebagai penghubung dengan kerajaan-kerajaan taklukkan Gowa, menjabat
sebagai raja negeri Bonto Mangape, dan pernah juga duduk dalam dewan kerajaan
sebagai karaeng yang mengurusi pendidikan anak-anak bangsawan.
Di bawah pemerintahan sultan Hasanuddin, kerajaan Makassar
mencapai masa keemasannya. Kerajaan Makassar berhasil menguasai
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan
Bone. Bahkan dia mempunyai cita-cita untuk menjadikan kerajaan Makassar sebagai
pusat kegiatan perdagangan bagian Timur. Untuk mewujudkannya sultan Hasanuddin
menyerang dan menguasai daerah-daerah di Nusa Tenggara, seperti daerah Flores
dan Sumbawa. Hasilnya, pelayaran dan perdagangan di kawasan sekitar Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara di bawah kendali kerajaan Makassar.
Bukan hal yang mengagetkan jika kerajaan Makassar pada
dapat masa lalu menjelma menjadi pusat perdagangan Indonesia Timur, berikut
faktor-faktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi:
Makassar memiliki syarat-syarat yang baik untuk menjadi
pelabuhan, terletak di muara sungai dan di depannya terdapat gugusan pulau yang
dapat melindungi pelabuhan dari angin maupun gelombang besar.
Letaknya strategis untuk perdagangan, yaitu di tengah-tengah
jalan dagang nasional dan pada zaman Indonesia Hindu, selat Makassar sudah
menjadi jalan dagang internasional.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511 M
menyebabkan banyak orang memindahkan tempat perdagangan ke daerah-daerah yang
belum dikuasai asing.
Politik Sultan Agung yang bersifat agraris dan non maritim
banyak melemahkan armada laut di pantai utara Jawa.
Akibat politik agraris, perdagangan menjadi lemah, sehingga
pedagang-pedagang banyak yang berpindah ke daerah lain seperti Makassar.
Kerajaan Makassar berkembang cepat menjadi negara Maritim.
Dengan perahu-perahu layar berjenis Pinisi dan Lombo, suku Makassar ataupun
Bugis merajai lautan di Indonesia, bahkan sampai di Sailan, Siam, dan
Australia. Di Indonesia sendiri banyak terdapat perkampuangan kedua suku pelaut
itu yang biasanya disebut kampung Bugis.
Konfrontasi dengan Belanda dan Kemunduran Kerajaan Makassar
Keberhasilan sultan Hasanuddin menjadikan kerajaan Makassar
sebagai pusat perdagangan, menyebabkannya menghadapi tantangan dari pihak
Belanda. Hal ini disebabkan Belanda memiliki kepentingan perdagangan
rempah-rempah di daerah Maluku. Oleh karena itu, usaha sultan Hasanuddin untuk
menguasai wilayah Indonesia Timur dipandang sebagai ancaman terhadap Belanda.
Konfrontasi antara kerajaan Makassar dan armada laut Belanda
pun tidak dapat dihindarkan, dalam beberapa kesempatan pula terjadi pertempuran
dan perampasan terhadap kapal-kapal dagang Belanda yang dilakukan oleh orang
Makassar. Bahkan pasukan Makassar dengan beraninya menyerang Maluku, yang saat
itu di bawah kekuasaan asing. Atas keberaniannya itulah kemudian sultan
Hasanuddin mendapat julukan “Si Ayam Jantan dari Timur”.
Penyerangan yang dilakukan oleh orang Makassar itu
menimbulkan keinginan Belanda untuk menyerang langung kerajaan Makassar. Dengan
liciknya Belanda memanfaatkan dendam lama negeri-negeri sekitar Makassar
untuk memuluskan langkah mereka. Kerajaan Makassar terlalu memaksakan
negeri-negeri sekitarnya untuk patuh terhadap mereka, khususnya Soppeng
yang dalam adat istiadat bersatu dengan Bone.
Perasaan tidak puas yang telah lama ini kemudian
dimanfaatkan Belanda untuk menyerang balik kerajaan Makassar, dipimpin oleh
Raja Bone bernama Aru Palaka, Soppeng dan Bone bersama-sama dengan Belanda
mulai melakukan perlawanan terhadap kerajaan Makassar.
Dengan bantuan negeri-negeri sekitar kerajaan Makassar itu,
Belanda akhirnya berhasil mendesak pasukan Makassar dan sekaligus merebut
ibukota kerajaan Makassar. Pasukan Makassar kewalahan menghadapi serangan
aliansi tersebut, sultan Hasanuddin berusaha menyusun tentaranya yang telah
kocar-kacir. Tetapi menyusun pasukan yang telah kacau tidaklah sama dengan
kekuatan semula. Akhirnya Belanda memenangkan pertempuran tersebut, dan memaksa
pihak penguasa Makassar untuk bersedia berunding. Dalam perundingan tersebut
disepakati sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Bongaya pada
tahun 1667 M.
Isi dari perjanjiangan Bongaya antara lain sebagai berikut:
Makassar melepaskan beberapa wilayah strategis kepada VOC
VOC berhak memegang perdagnagan monopoli di Makassar.
VOC diizinkan mendirikan benteng pertahanan di Makassar.
Setelah sultan Hasanudin menandatangani perjanjian Bongaya,
Belanda berhasil menguasai aktivitas perdagangan di seluruh wilayah Makassar.
Pengganti Sultan Hasanuddin setelah turun tahta adalah
putranya yang bernama Mapasomba. Seperti ayahnya, Mapasomba bertekad untuk
menentang kehadiran VOC di Makassar. Bahkan sikapnya lebih keras jika
dibandingkan dengan ayahnya.
Meskipun demikian, sikapnya tersebut dilakukan tanpa
perencanaan yang matang. Adanya benteng pertahanan VOC di Maksar dan pasukan
Makassar yang sudah tidak sekuat dahulu, menyebabkan usaha yang dilakukan
Mapasomba mudah untuk dipatahkan. Sejak saat itu, nasib Mapasomba tidak diketahui
secara pasti dan akhirnya Belanda berhasil mengukuhkan pendudukannya di
Sulawesi Selatan secara penuh.
Peran ulama
Dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
tidak banyak disebutkan tentang peranan ulama-ulama terkemuka di Makassar. Mayoritas
ulama di kerajaan Makassar berasal dari Sumatra, sebagai perutusan dari
kerajaan Aceh. Mereka lah yang memegang peranan penting alam usaha mengIslamkan
penguasa dan menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat, yang pada gilirannya nanti
akan ikut memberi semangat baru bagi rakyat Makassar untuk menentukan pegangan
hidup mereka.
Salah satu ulama asli Makassar yang sampai sekrang
dibicarakan adalah Syeikh Yusuf. Dia terkenal terlah melakukan perjalanan ke
berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Awalnya ke Aceh, Yman, Hadramaut, Mekah,
Madinah, dan Damaskus. Selain menekuni ilmu Fiqih, dia juga berkecimpung di
bidang tasawuf, sehingga mendapat gelar kehormatan tertinggi di Tarekat
Khalwatiyah dengan sebutan Syeikh Yusuf ibn Abdullah, Abul Mahasin,
Hidayatullah Tajul Khalwaty.
Para ulama asli Makassar ataupun ulama pendatang tidak
meninggalkan karya-karya monumental yang diwariskan kepada generasi penerus.
Kemungkinan besar disebabkan mereka telah bersatu paham tentang akidah dan
syari’at Islam tanpa harus berkonflik terlebih dahulu. Selain itu dakwah secara
langsung kepada masyarakat lebih ditekankan, dari pada lewat tulisan.
Sumber : http://wawasansejarah.com/kerajaan-makassar/
Kerajaan Makassar (1605-1667 M )
Sejarah Kemunculan Kerajaan Makassar
Keputusan penguasa kerajaan Makassar untuk memeluk agama
Islam mempunyai dampak yang sangat penting baik bagi kehidupan rakyat maupun
kehidupan politik bagi masa depan Sulawesi Selatan. Dampak yang lain adalah
menjadikan kerajaan Makassar sebagai penguasa yang tidak tertandingi di
Sulawesi Selatan.
Untuk mempertahankan predikat penguasa tak tertandingi,
tidak segan kerajaan Makassar berusaha mengIslamkan para penguasa lain yang ada
di Sulawesi Selatan. Langkah pertama untuk merealisasikan tujuannya adalah untuk
mengajak Bone dan Soppeng memeluk agama Islam, namun kedua kerajaan itu
menolak. Penolakan ini menyebabkan terjadinya peperangan antara kerajaan
Makassar melawan Tellumpocco (kerajaan gabungan Soppeng, Wajo, dan Bone).
Ketika awal peperangan berlangsung, Tellumpocco menjadi
pihak yang memenangkan perang. Namun pada tahun 1609 M tatkala perang kembali
pecah, pihak kerajaan Makassar lah yang mendapatkan kemenangan. Dengan
kemenangan ini Soppeng bersedia menganut agama Islam pada tahun 1609 M,
kemudian diikuti oleh Wajo pada 10 Mei 1610 M, dan oleh Bone pada 23 November
1611 M. Sultan Alaudin meninggal pada tahun 1638 M, setelah sultan Alaudin
meninggal, dia digantikan oleh sultan Muhammad Said, yang nantinya akan membawa
kerajaan Makassar memasuki masa kejayaannya.
Kejayaan Kerajaan Makassar
Setelah sultan Alaudin meninggal, sultan Muhammad Said
(1639-1653) naik tahta menjadi raja kerajaan Makassar, dengan dibantu Karaeng
Pattingaloang. Ketika Sultan Muhammad Said memerintah, kerajaan Makassar
mengalami perkembangan luar biasa dan mencapai pucaknya di bawah pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Nama Sultan Muhammad Said sendiri terkenal sampai ke
berbagai negeri di Asia, bahkan sampai ke Eropa. Hal ini disebabkan karena
jasa-jasa Karaeng Pattingaloang yang pandai melakukan diplomasi. Sayangnya
tidak banyak catatan sejarah yang menceritakan keadaan kerajaan Makassar pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Said secara mendetail.
Pengganti Sultan Muhammad Said adalah anaknya, yang bernama
Hasanuddin. Sultan Hasanudin lahir pada tanggal 12 Januari 1613, dan meninggal
pada tanggal 12 Juni 1670. Dia menjadi raja Gowa ke-16 dan sebagai raja
Makassar yang ke-3. Nama kecil Hasanuddin adalah I Mallombassi, setelah
menginjak dewasa mempunyai gelar Daeng Mattawan
Sebelum Hasanuddin naik tahta, dia pernah menjalankan
tugas sebagai penghubung dengan kerajaan-kerajaan taklukkan Gowa, menjabat
sebagai raja negeri Bonto Mangape, dan pernah juga duduk dalam dewan kerajaan
sebagai karaeng yang mengurusi pendidikan anak-anak bangsawan.
Di bawah pemerintahan sultan Hasanuddin, kerajaan Makassar
mencapai masa keemasannya. Kerajaan Makassar berhasil menguasai
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan
Bone. Bahkan dia mempunyai cita-cita untuk menjadikan kerajaan Makassar sebagai
pusat kegiatan perdagangan bagian Timur. Untuk mewujudkannya sultan Hasanuddin
menyerang dan menguasai daerah-daerah di Nusa Tenggara, seperti daerah Flores
dan Sumbawa. Hasilnya, pelayaran dan perdagangan di kawasan sekitar Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara di bawah kendali kerajaan Makassar.
Bukan hal yang mengagetkan jika kerajaan Makassar pada
dapat masa lalu menjelma menjadi pusat perdagangan Indonesia Timur, berikut
faktor-faktor yang menyebabkan hal itu dapat terjadi:
Makassar memiliki syarat-syarat yang baik untuk menjadi
pelabuhan, terletak di muara sungai dan di depannya terdapat gugusan pulau yang
dapat melindungi pelabuhan dari angin maupun gelombang besar.
Letaknya strategis untuk perdagangan, yaitu di tengah-tengah
jalan dagang nasional dan pada zaman Indonesia Hindu, selat Makassar sudah
menjadi jalan dagang internasional.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511 M
menyebabkan banyak orang memindahkan tempat perdagangan ke daerah-daerah yang
belum dikuasai asing.
Politik Sultan Agung yang bersifat agraris dan non maritim
banyak melemahkan armada laut di pantai utara Jawa.
Akibat politik agraris, perdagangan menjadi lemah, sehingga
pedagang-pedagang banyak yang berpindah ke daerah lain seperti Makassar.
Kerajaan Makassar berkembang cepat menjadi negara Maritim.
Dengan perahu-perahu layar berjenis Pinisi dan Lombo, suku Makassar ataupun
Bugis merajai lautan di Indonesia, bahkan sampai di Sailan, Siam, dan
Australia. Di Indonesia sendiri banyak terdapat perkampuangan kedua suku pelaut
itu yang biasanya disebut kampung Bugis.
Konfrontasi dengan Belanda dan Kemunduran Kerajaan Makassar
Keberhasilan sultan Hasanuddin menjadikan kerajaan Makassar
sebagai pusat perdagangan, menyebabkannya menghadapi tantangan dari pihak
Belanda. Hal ini disebabkan Belanda memiliki kepentingan perdagangan
rempah-rempah di daerah Maluku. Oleh karena itu, usaha sultan Hasanuddin untuk
menguasai wilayah Indonesia Timur dipandang sebagai ancaman terhadap Belanda.
Konfrontasi antara kerajaan Makassar dan armada laut Belanda
pun tidak dapat dihindarkan, dalam beberapa kesempatan pula terjadi pertempuran
dan perampasan terhadap kapal-kapal dagang Belanda yang dilakukan oleh orang
Makassar. Bahkan pasukan Makassar dengan beraninya menyerang Maluku, yang saat
itu di bawah kekuasaan asing. Atas keberaniannya itulah kemudian sultan
Hasanuddin mendapat julukan “Si Ayam Jantan dari Timur”.
Penyerangan yang dilakukan oleh orang Makassar itu
menimbulkan keinginan Belanda untuk menyerang langung kerajaan Makassar. Dengan
liciknya Belanda memanfaatkan dendam lama negeri-negeri sekitar Makassar
untuk memuluskan langkah mereka. Kerajaan Makassar terlalu memaksakan
negeri-negeri sekitarnya untuk patuh terhadap mereka, khususnya Soppeng
yang dalam adat istiadat bersatu dengan Bone.
Perasaan tidak puas yang telah lama ini kemudian
dimanfaatkan Belanda untuk menyerang balik kerajaan Makassar, dipimpin oleh
Raja Bone bernama Aru Palaka, Soppeng dan Bone bersama-sama dengan Belanda
mulai melakukan perlawanan terhadap kerajaan Makassar.
Dengan bantuan negeri-negeri sekitar kerajaan Makassar itu,
Belanda akhirnya berhasil mendesak pasukan Makassar dan sekaligus merebut
ibukota kerajaan Makassar. Pasukan Makassar kewalahan menghadapi serangan
aliansi tersebut, sultan Hasanuddin berusaha menyusun tentaranya yang telah
kocar-kacir. Tetapi menyusun pasukan yang telah kacau tidaklah sama dengan
kekuatan semula. Akhirnya Belanda memenangkan pertempuran tersebut, dan memaksa
pihak penguasa Makassar untuk bersedia berunding. Dalam perundingan tersebut
disepakati sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Bongaya pada
tahun 1667 M.
Isi dari perjanjiangan Bongaya antara lain sebagai berikut:
Makassar melepaskan beberapa wilayah strategis kepada VOC
VOC berhak memegang perdagnagan monopoli di Makassar.
VOC diizinkan mendirikan benteng pertahanan di Makassar.
Setelah sultan Hasanudin menandatangani perjanjian Bongaya,
Belanda berhasil menguasai aktivitas perdagangan di seluruh wilayah Makassar.
Pengganti Sultan Hasanuddin setelah turun tahta adalah
putranya yang bernama Mapasomba. Seperti ayahnya, Mapasomba bertekad untuk
menentang kehadiran VOC di Makassar. Bahkan sikapnya lebih keras jika
dibandingkan dengan ayahnya.
Meskipun demikian, sikapnya tersebut dilakukan tanpa
perencanaan yang matang. Adanya benteng pertahanan VOC di Maksar dan pasukan
Makassar yang sudah tidak sekuat dahulu, menyebabkan usaha yang dilakukan
Mapasomba mudah untuk dipatahkan. Sejak saat itu, nasib Mapasomba tidak diketahui
secara pasti dan akhirnya Belanda berhasil mengukuhkan pendudukannya di
Sulawesi Selatan secara penuh.
Peran ulama
Dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
tidak banyak disebutkan tentang peranan ulama-ulama terkemuka di Makassar. Mayoritas
ulama di kerajaan Makassar berasal dari Sumatra, sebagai perutusan dari
kerajaan Aceh. Mereka lah yang memegang peranan penting alam usaha mengIslamkan
penguasa dan menyebarkan ajaran Islam ke masyarakat, yang pada gilirannya nanti
akan ikut memberi semangat baru bagi rakyat Makassar untuk menentukan pegangan
hidup mereka.
Salah satu ulama asli Makassar yang sampai sekrang
dibicarakan adalah Syeikh Yusuf. Dia terkenal terlah melakukan perjalanan ke
berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Awalnya ke Aceh, Yman, Hadramaut, Mekah,
Madinah, dan Damaskus. Selain menekuni ilmu Fiqih, dia juga berkecimpung di
bidang tasawuf, sehingga mendapat gelar kehormatan tertinggi di Tarekat
Khalwatiyah dengan sebutan Syeikh Yusuf ibn Abdullah, Abul Mahasin,
Hidayatullah Tajul Khalwaty.
Para ulama asli Makassar ataupun ulama pendatang tidak
meninggalkan karya-karya monumental yang diwariskan kepada generasi penerus.
Kemungkinan besar disebabkan mereka telah bersatu paham tentang akidah dan
syari’at Islam tanpa harus berkonflik terlebih dahulu. Selain itu dakwah secara
langsung kepada masyarakat lebih ditekankan, dari pada lewat tulisan.
Sumber : http://wawasansejarah.com/kerajaan-makassar/













